Oleh : Kawentar

KabarIndonesia - Ketika orang ramai-ramai meninggalkan kebudayaan daerahnya dan mengagung-agungkan kebudayaan baru yang hampir tidak memiliki kepribadian itu, yang sesunguhnya kebudayaan produk kapitalisme atau seringkali kita menyebutnya budaya global. Kebudayaan global atau budaya baru keluar dari system budaya yang berkepribadian nusantara, karena mengumbar berbagai gaya hidup dan produk yang ditawarkan melalui barang-barang, mulai dari barang kelontong, kosmetik, hingga kebutuhan hidup sebagai produk hiburan.

Dalam konteks tersebut ternyata masih saja ada yang malah kembali ke keagungan daerahnya, bercengkrama dengan bahasa Ibunya, bergumul dengan tradisi yang luhur itu dan hal ini saya sebut sebuah kebudayan yang memiliki kepribadian. Bangsa kita termasuk di Sumatera Selatan ini, sudah merasa malu kalau mengetengahkan kesenian daerahnya, menggunakan bahasa daerahnya, terutama para generasi penerusnya. Hampir tidak ada lagi yang menyukai kesenian daerahnya, bahasa daerahnya, apalagi mempelajarinya. Sungguh keprihatinan yang mendalam kalau leluhur itu tahu. Kebanggaan anak negeri terhadap tanah kelahiran dan tradisi tanah leluhur serta karya seni anak bangsanya, luntur sudah.

Kepedulian Sang Penyair
Keprihatinan itu ditangkap Syamsu Indra Usman sang Penyair Gunung, rajo teleguh yang tidak pernah lelah terus mengusung kebudayaan daerah Empat Lawang sebagai kabupaten baru di Sumatera Selatan yang menurutnya sangat berbeda dengan yang lain. Perbedaannya dikatakan dengan lantang, yang menggambarkan karakter Lintang daerahnya. Dia menjadi rujukan utama dalam kebudayaan daerahnya, ia terus berusaha menjaga dan ikut mengembangkannya.

Dalam beberapa pertemuan dan berbagai kegiatan serta membaca beberapa karyanya mengenai budaya Empat Lawang, Indra Usman seakan hendak membicarakan budaya daerah Empat Lawang di tingkat global melalui puisi, cerita pendek dan novel. Bahkan resep masakan tradisional Empat Lawang, kamus bahasa Lintang dan adat istiadat Empat Lawang. Apakah karya sastra berbahasa daerah Empat Lawang itu merupakan bentuk perlawanan terhadap budaya global? Apakah sebagai bentuk penyadaran bagi masyarakat Empat Lawang? Seakan ia ingin mengatakan bahwa kenalilah budaya sendiri, jangan merasa malu dengan bahasa dan budaya yang kita miliki. Seolah-olah ia juga mengajak marilah kita mencintai seni tradisi dan budaya sendiri, gunakanlah bahasa daerah sebagai ciri kepribadian bangsa melalui karya sastra serta nafas kehidupan hari-hari dalam pergaulan.

Masyarakat Menyepelekan Tradisi
Kita memang sudah hampir kehilangan akar budaya sendiri, dan kita seperti masuk dunia baru, seperti budaya baru atau budaya global yang dikumandangkan lewat berbagai kesempatan dan hampir setiap menit serta detik dinikmati oleh para generasi penerus melalui berbagai media yang semakin canggih.


Kita di sini di Sumatera Selatan terkadang bingung yang mana sesungguhnya kebudayaan milik kita. Seringkali tidak terima dengan kebudayaan yang ada dan telah mengakar. Seringkali tidak percaya diri dengan yang ada, apalagi budaya yang berkembang sesuatu yang buruk, selalu diusut-usut budaya datangan. Dengan alasan bahwa dari dulu Sumatera Selatan merupakan daerah transit berbagai suku bangsa. Bahkan ketika berkembang berbagai macam kekerasan, ada pula alasannya karena Sumatera Selatan merupakan daerah maritim sejak jaman Kerajaan Sriwijaya.

Munculnya berbagai betuk kekerasan sejalan dengan tenggelamnya budaya luhur yang menjadi akar rujukan dalam tingkah laku masyarakat, sebuah tradisi yang mengajarkan moral dan bermasyarakat. Hukum-hukum yang berakar dari tradisi dipangkas walau sedikit-sedikit, ataupun lenyap ditelan jaman, karena system pendidikan tidak mengajarkannya sebagai suatu alat yang dapat dijadikan benteng atau filter atas serangan budaya baru. Pada akhirnya masyarakat kian menyepelekan tradisi puyang, dan semakin lama ditinggalkan bahkan dilupakan. Di sisi lain ada orang-orang luar yang mencoba mencatat sejarah yang mereka anggap bangsa kita memiliki peradaban tinggi pada saat itu.

Namun kita telah menginjak-nginjaknya sendiri.
Simpul-simpul budaya seperti kesenian sudah memudar, sanggar-sanggar kesenian hampir sulit didapatkan, para pekerja seni kehilangan pekerjaannya, Dewan Kesenian tinggal nama dan gedungnya saja. Sementara pendidikan seni budaya di sekolah-sekolah menjadi mata pelajaran anak tiri. Guru-gurunya banyak bukan ahli di bidangnya. Di lain hal sekolah menengah seni dikebiri atau perguruan tinggi seni karbitan. Budaya belajar dari titik nol tidak lagi menjadi model, budaya belajar jalan pintas menjadi popular.

Masalah ini bukan hal yang kecil tetapi nasional, namun orang-orang memandangnya permasalahan ini gampang. Padahal permasalahan kebudayaan merupakan masalah fundamental bagi sebuah bangsa. Karena kebudayaan menyangkut masalah kepribadian bangsa atau karakter bangsa. Apabila kita sudah kehilangan kepribadian maka bangsa kita akan mudah diombang-ambing oleh dorongan dari luar dan akan mudah dipecah belah oleh bangsa lain.

Lahirlah Karya Seni
Syamsu Indra Usman terus melahirkan karya-karya dengan tanpa pamrih, terutama mendokumentasikan sejarah leluhurnya dan berbagai karya seni lain. Berbagai karya sastra mengalir dari pemikiran yang memiliki udara, air dan makanan yang masih segar.

Ingat perjuangan belum selesai, generasi penerus terus lahir dan perlu berbagai bimbingan serta arahan orang tua yang memiliki wawasan seni budaya daerahnya, sehingga generasi yang dilahirkan dapat membentengi diri dari budaya luar yang membuat rusak anak bangsa.

Diharapkan setelah terbentuknya pemerintahan baru yang menjadikannya Kabupaten Empat Lawang, sebagaimana yang dicita-citakan Syamsu Indra Usman, sebagai penggagas utama pembentukan Kabupaten tersebut. Dengan demikian akan lebih mudah memformasikan bentuk kebudayaan Empat Lawang, yang berkarakter keras serta temparamental. Apabila diekspresikan ke dalam bentuk karya seni jelas akan sangat mencolok.


Sebagai upayanya dalam dalam mengakomodir kesenian tradisional Empat Lawang dan bahasa daerahnya akan diusulkan dalam bentuk mata pelajaran di sekolah sebagai muatan lokal. Dengan demikian diharapkan akan lahir karya seni yang bernuansa tradisi Empat Lawang terus mengalir.

Penulis Pekerja Seni dan Guru SMA N 1 Merapai Timur Kabupaten Lahat.

Indonesiaku

Bumi kau genggam
bukit kau peluk
gunung kau pegang
sawah dan ladang hijau
menghampar
indah dipandang
bagai permadani dan
permata zamrut berkilau
menyebarkan wewangian
itulah Indonesiaku.

Lumajang Kota, 1978

Balada Seorang Gadis Desa

Di antara
modernnya era zaman
yang menghalalkan segala cara
di keramaian ibukota
di belakang gedung megah
gadis manis tanpa alas kaki
mengayun langkah
terampar di pelukan ibukota
menaburkan sejuta angan
mencari sebetik harapan.

Jakarta, 1978

Hari Telah Menjelang Senja

Dalam sebuah surau
temapt semua peraduan-Mu
bersama suara azan
sejuta dosa menghantui
kematian
yang tak mampu menghapus
dosa yagn tak pernah mau
dirasakan
sementara hari telah
menjelang senja
diatas kepala rambut telah
memutih dimakan usia
detik telah berlalu silih
berganti
senantiasa tak pernah berpaling
sedangkan perjalanan separoh
belum tertempuh
hari telah semakin senja
suatu pertanda tak lama lagi
malam akan segera datang.

Jakarta, 1978

Antara Gambir dan Surabaya

Diantara perjalananku
antara gambir dan surabaya
aku tau ada sebuah persinggahan
diatas sebuah kereta
yang aku tak tau siapa yang
berada di dalamnya
dari orang yang bergendang
aku mendengar ada irama
suatu pertanda orang yang sedang
menari
mengikuti irama masa kini.

Tanjungkarang, Lampung, 1978

Kita Semua Tau

Kita sudah tau
bahwa kita orang tidak tau
kita pun tau
bahwa kit aorang yang tau
kita telah tau
bahwa kit atidak harus tau
kita tau bahwa kita
pura-pura tak tau.

Surabaya Kota, 1979

Sang Kekasih

Yang sering kali
menghantui setiap perasaan
adalah peristiwa dan rasa rindu
yang berada dalam segumpal hati
yang tak mampu mengubur
nama sang kekasih
yang dulu telah lama pergi


Jakarta 1980

Sikap

Kita tinggalkan
semua peradaban dan
semua sikap
yang idealisme
mari kita berbuat
sebagai penjilat
dan sembunyikan semua
tingkah dan perilaku
di atas kesalahan
agar dapur kita selalu
tetap mengepul
kita ikuti aturan permainan
dari pada kita mendadak mati
lebih baik mati perlahan
agar kita selamat
di dalam perjalanan
mengikuti zaman

Bogor, Jawa Barat 1979

Kusam

Yang kusam dan tak terbaca
yang tersampir di pucuk kuncup segala
yang layu dan tak terbaca maknanya
adalah ia yang tak tau penggubahnya
adalah ia yang tak tau penciptanya
sementara pertentangan
terus berkembang dan menyerang
diantara kaum dalam segala kaum

Jakarta 1978

Di Balik Tembok

Ada yang sepi
ada pula yang mati
ada lagi yang sunyi
ada jug ayang sepi
dan ada yang suci
tak dapat ditebak pasti
apa yang telah terjadi
di balik tembok
yang diselubungi misteri


Bondowoso Jatim 1980

Pada Setiap Kota

Dalam gemerlapnya
kehidupan malam
yang serba glamour
pada setiap kota
diantara kemewahan
yang ada
bertaburan dosa
yang tumbuh silih berganti
rontok satu hidup seribu
diatas kemauannya sendiri
mereka tak ingin mati
dalam kehancuran

Lahat, 1981

Ada

ada yang tertindas
ada yang tersengal
ada yang terayun letih
itulah napasku

hasratku
harapanku
yang suarakan sisa keadilan
yang kini semakin tertekan bumi
terkubur hampa
Palembang, 1990

Kau Bilang

Kau bilang bodoh
aku bisu
kau bilang pencuri
aku bungkam
kau bilang gila
aku diam
itulah diri kita
semua

Bandung, 1979

Hujan Gerimis Putih

Diri bercermin
pada bulan
jiwa berkaca
pada bintang
sebelum tidur
mengharap mimpi
akan segera datang
adakah
kerja yang tak
menghitung untung

Malang Kota, 1978

Lahat Kota Budaya

Lahat kota takwa
kota megalit dan tempat wisata budaya
lematang sungguh indah dipandang mata
air terjun sejuk hawanya nyaman terasa
Lahat daerahnya subur
kebun kopi luas membentang
bukit serelo menjulang tinggi
sangat menawan hati
Gunung Dempo elok rupanya
tak pernah bosan mata memandang
tempat wisata para remaja
membuat betah tinggal di sana
Gadis dusun tersenyum ramah
putri gunung mandi telaga
wajahnya polos cantik jelita
anggun sopan tutur bahasanya
Juni, 1991

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda